Laman

Kamis, 15 Juli 2010

PEMBELAJARAN DENGAN MODEL SIKLUS BELAJAR (LEARNING CYCLE)

Fauziatul Fajaroh dan I Wayan Dasna
Jurusan Kimia FMIPA UM


ApaSiklusBelajar(LearningCycle)itu?

Siklus Belajar (Learning Cycle) atau dalam penulisan ini disingkat LC adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada pebelajar (student centered). LC merupakan rangkaian tahap-tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga pebelajar dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperanan aktif. LC pada mulanya terdiri dari fase-fase eksplorasi (exploration), pengenalan konsep (concept introduction), dan aplikasi konsep (concept application) (Karplus dan Their dalam Renner et al, 1988). Pada tahap eksplorasi, pebelajar diberi kesempatan untuk memanfaatkan panca inderanya semaksimal mungkin dalam berinteraksi dengan lingkungan melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum, menganalisis artikel, mendiskusikan fenomena alam, mengamati fenomena alam atau perilaku sosial, dan lain-lain. Dari kegiatan ini diharapkan timbul ketidakseimbangan dalam struktur mentalnya (cognitive disequilibrium) yang ditandai dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada berkembangnya daya nalar tingkat tinggi (high level reasoning) yang diawali dengan kata-kata seperti mengapa dan bagaimana (Dasna, 2005, Rahayu, 2005). Munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut sekaligus merupakan indikator kesiapan siswa untuk menempuh fase berikutnya, fase pengenalan konsep. Pada fase ini diharapkan terjadi proses menuju kesetimbangan antara konsep-konsep yang telah dimiliki pebelajar dengan konsep-konsep yang baru dipelajari melalui kegiatan-kegiatan yang membutuhkan daya nalar seperti menelaah sumber pustaka dan berdiskusi. Pada tahap ini pebelajar mengenal istilah-istilah yang berkaitan dengan konsep-konsep baru yang sedang dipelajari. Pada fase terakhir, yakni aplikasi konsep, pebelajar diajak menerapkan pemahaman konsepnya melalui kegiatan-kegiatan seperti problem solving (menyelesaikan problem-problem nyata yang berkaitan) atau melakukan percobaan lebih lanjut.. Penerapan konsep dapat meningkatkan pemahaman konsep dan motivasi belajar, karena pebelajar mengetahui penerapan nyata dari konsep yang mereka pelajari. Implementasi LC dalam pembelajaran menempatkan guru sebagai fasilitator yang mengelola berlangsungnya fase-fase tersebut mulai dari perencanaan (terutama pengembangan perangkat pembelajaran), pelaksanaan (terutama pemberian pertanyaan-pertanyaan arahan dan proses pembimbingan) sampai evaluasi. Efektifitas implementasi LC biasanya diukur melalui observasi proses dan pemberian tes. Jika ternyata hasil dan kualitas pembelajaran tersebut ternyata belum memuaskan, maka dapat dilakukan siklus berikutnya yang pelaksanaannya harus lebih baik dibanding siklus sebelumnya dengan cara mengantisipasi kelemahan-kelemahan siklus sebelumnya, sampaihasilnyamemuaskan.
LC tiga fase saat ini telah dikembangkan dan disempurnakan menjadi 5 dan 6 fase. Pada LC 5 fase, ditambahkan tahap engagement sebelum exploration dan ditambahkan pula tahap evaluation pada bagian akhir siklus. Pada model ini, tahap concept introduction dan concept application masing-masing diistilahkan menjadi explaination dan elaboration. Karena itu LC 5 fase sering dijuluki LC 5E (Engagement, Exploration, Explaination, Elaboration, dan Evaluation) (Lorsbach, 2002). Pada LC 6 fase, ditambahkan tahap identifikasi tujuan pembelajaran pada awal kegiatan (Johnston dalam Iskandar, 2005). Tahap engagement bertujuan mempersiapkan diri pebelajar agar terkondisi dalam menempuh fase berikutnya dengan jalan mengeksplorasi pengetahuan awal dan ide-ide mereka serta untuk mengetahui kemungkinan terjadinya miskonsepsi pada pembelajaran sebelumnya. Dalam fase engagement ini minat dan keingintahuan (curiosity) pebelajar tentang topik yang akan diajarkan berusaha dibangkitkan. Pada fase ini pula pebelajar diajak membuat prediksi-prediksi tentang fenomena yang akan dipelajari dan dibuktikan dalam tahap eksplorasi. Pada fase exploration, siswa diberi kesempatan untuk bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil tanpa pengajaran langsung dari guru untuk menguji prediksi, melakukan dan mencatat pengamatan serta ide-ide melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum dan telaah literatur. Pada fase explanation, guru harus mendorong siswa untuk menjelaskan konsep dengan kalimat mereka sendiri, meminta bukti dan klarifikasi dari penjelasan mereka, dan mengarahkan kegiatan diskusi. Pada tahap ini pebelajar menemukan istilah-istilah dari konsep yang dipelajari. Pada fase elaboration (extention), siswa menerapkan konsep dan ketrampilan dalam situasi baru melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum lanjutan dan problem solving. Pada tahap akhir, evaluation, dilakukan evaluasi terhadap efektifitas fase-fase sebelumnya dan juga evaluasi terhadap pengetahuan, pemahaman konsep, atau kompetensi pebelajar melalui problem solving dalam konteks baru yang kadang-kadang mendorong pebelajar melakukan investigasi lebih lanjut. Berdasarkan tahapan-tahapan dalam metode pembelajaran bersiklus seperti dipaparkan di atas, diharapkan siswa tidak hanya mendengar keterangan guru tetapi dapat berperan aktif untuk menggali dan memperkaya pemahaman mereka terhadap konsep-konsep yang dipelajari. Berdasarkan uraian di atas, LC dapat dimplementasikan dalam pembelajaran bidang-bidang sain maupun sosial.
MengapaMenggunakanLearningCycle?
LC patut dikedepankan, karena sesuai dengan teori belajar Piaget (Renner et al, 1988), teori belajar yang berbasis konstruktivisme. Piaget menyatakan bahwa belajar merupakan pengembangan aspek kognitif yang meliputi: struktur, isi, dan fungsi. Struktur intelektual adalah organisasi-organisasi mental tingkat tinggi yang dimiliki individu untuk memecahkan masalah-masalah. Isi adalah perilaku khas individu dalam merespon masalah yang dihadapi. Sedangkan fungsi merupakan proses perkembangan intelektual yang mencakup adaptasi dan organisasi (Arifin, 1995). Adaptasi terdiri atas asimilasi dan akomodasi. Pada proses asimilasi individu menggunakan struktur kognitif yang sudah ada untuk memberikan respon terhadap rangsangan yang diterimanya. Dalam asimilasi individu berinteraksi dengan data yang ada di lingkungan untuk diproses dalam struktur mentalnya. Dalam proses ini struktur mental individu dapat berubah, sehingga terjadi akomodasi. Pada kondisi ini individu melakukan modifikasi dari struktur yang ada, sehingga terjadi pengembangan struktur mental. Pemerolehan konsep baru akan berdampak pada konsep yang telah dimiliki individu. Individu harus dapat menghubungkan konsep yang baru dipelajari dengan konsep-konsep lain dalam suatu hubungan antar konsep. Konsep yang baru harus diorganisasikan dengan konsep-konsep lain yang telah dimiliki. Organisasi yang baik dari intelektual seseorang akan tercermin dari respon yang diberikan dalam menghadapi masalah. Karplus dan Their (dalam Renner et al, 1988) mengembangkan strategi pembelajaran yang sesuai dengan ide Piaget di atas. Dalam hal ini pebelajar diberi kesempatan untuk mengasimilasi informasi dengan cara mengeksplorasi lingkungan, mengakomodasi informasi dengan cara mengembangkan konsep, mengorganisasikan informasi dan menghubungkan konsep-konsep baru dengan menggunakan atau memperluas konsep yang dimiliki untuk menjelaskan suatu fenomena yang berbeda. Implementasi teori Piaget oleh Karplus dikembangkan menjadi fase eksplorasi, pengenalan konsep, dan aplikasi konsep . Unsur-unsur teori belajar Piaget (asimilasi, akomodasi, dan organisasi) mempunyai korespondensi dengan fase-fase dalam LC (Abraham et al, 1986).
(Marek dan Cavallo dalam Dasna, 2005).
Laerning Cycle Phases Mental Functioning
Eksplorasi
Asimilasi
ketidakseimbangan
Pengenalan Konsep
Akomodasi
Aplikasi Konsep
Organisasi
Hubungan Fase-fase dalam LC dengan Teori Piaget
Pengembangan fase-fase LC dari 3 fase menjadi 5 atau 6 fase pun masih tetap berkorespondensi dengan mental functioning dari Piaget. Fase engagement dalam LC 5E termasuk dalam proses asimilasi, sedangkan fase evaluation masih merupakan proses organisasi.
Walaupun fase-fase LC dapat dijelaskan dengan teori Piaget, LC juga pada dasarnya lahir dari paradigma konstruktivisme belajar yang lain termasuk teori konstruktivisme sosial Vygotsky dan teori belajar bermakna Ausubel (Dasna, 2005). LC melalui kegiatan dalam tiap fase mewadahi pebelajar untuk secara aktif membangun konsep-konsepnya sendiri dengan cara berinteraksi dengan lingkungan fisik maupun sosial. Implementasi LC dalam pembelajaran sesuai dengan pandangan kontruktivis yaitu:
1. Siswa belajar secara aktif. Siswa mempelajari materi secara bermakna dengan bekerja dan berpikir. Pengetahuan dikonstruksi dari pengalaman siswa.
2. Informasi baru dikaitkan dengan skema yang telah dimiliki siswa. Informasi baru yang dimiliki siswa berasal dari interpretasi individu
3. Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang merupakan pemecahan masalah. (Hudojo, 2001)
Dengan demikian proses pembelajaran bukan lagi sekedar transfer pengetahuan dari guru ke siswa, seperti dalam falsafah behaviorisme, tetapi merupakan proses pemerolehan konsep yang berorientasi pada keterlibatan siswa secara aktif dan langsung. Proses pembelajaran demikian akan lebih bermakna dan menjadikan skema dalam diri pebelajar menjadi pengetahuan fungsional yang setiap saat dapat diorganisasi oleh pebelajar untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Hasil-hasil penelitian di perguruan tinggi dan sekolah menengah tentang implementasi LC dalam pembelajaran sain menunjukkan keberhasilan model ini dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar siswa (Budiasih dan Widarti, 2004; Fajaroh dan Dasna, 2004). Marek dan Methven (dalam Iskandar, 2005) menyatakan bahwa siswa yang gurunya mengimplementasikan LC mempunyai ketrampilan menjelaskan yang lebih baik dari pada siswa yang gurunya menerapkan metode ekspositori. Cohen dan Clough (dalam Soebagio, 2000) menyatakan bahwa LC merupakan strategi jitu bagi pembelajaran sain di sekolah menengah karena dapat dilakukan secara luwes dan memenuhi kebutuhan nyata guru dan siswa. Dilihat dari dimensi guru penerapan strategi ini memperluas wawasan dan meningkatkan kreatifitas guru dalam merancang kegiatan pembelajaran. Sedangkan ditinjau dari dimensi pebelajar, penerapan strategi ini memberi keuntungan sebagai berikut:
1. meningkatkan motivasi belajar karena pebelajar dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran
2. membantu mengembangkan sikap ilmiah pebelajar
3. pembelajaran menjadi lebih bermakna
Adapun kekurangan penerapan strategi ini yang harus selalu diantisipasi diperkirakan sebagai berikut (Soebagio, 2000):
1. efektifitas pembelajaran rendah jika guru kurang menguasai materi dan langkah-langkah pembelajaran
2. menuntut kesungguhan dan kreativitas guru dalam merancang dan melaksanakan proses pembelajaran
3. memerlukan pengelolaan kelas yang lebih terencana dan terorganisasi
4. memerlukan waktu dan tenaga yang lebih banyak dalam menyusun rencana dan melaksanakan pembelajaran.
Bagaimana Mengembangkan Learning Cycle dalam Pembelajaran?
Aktivitas belajar yang dikembangkan dalam tiap fase LC bergantung kepada tujuan pembelajaran. Tabel 1 menyajikan beberapa aktivitas belajar atau metode yang dapat dilakukan dalam tiap fase LC 5E.
Aktivitas Belajar dalam Tiap Fase LC 5E
Fase Aktivitas Belajar/ Metode
Engagement: menyiapkan (mengkondisikan) diri pebelajar, mengetahui kemungkinan terjadinya miskonsepsi, membangkitkan minat dan keingintahuan (curiosity) pebelajar • Demonstrasi oleh guru atau siswa
• Tanya jawab dalam rangka mengeksplorasi pengetahuan awal, pengalaman, dan ide-ide pebelajar
• Pebelajar diajak membuat prediksi-prediksi tentang fenomena yang akan dipelajari dan dibuktikan dalam tahap eksplorasi
Exploration: pebelajar bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil, menguji prediksi, melakukan dan mencatat pengamatan serta ide-ide • Demonstrasi
• Praktikum
• Mengerjakan LKS (Lembar Kegiatan Siswa)
Explaination: siswa menjelaskan konsep dengan kalimat mereka sendiri, guru meminta bukti dan klarifikasi dari penjelasan mereka dan mengarahkan kegiatan diskusi, pebelajar menemukan istilah-istilah dari konsep yang dipelajari. • Mengkaji literatur
• Diskusi Kelas
Elaboration (extention) : siswa menerapkan konsep dan ketrampilan dalam situasi baru. • Demontrasi lanjutan
• Praktikum lanjutan
• Problem solving
Evaluation : evaluasi terhadap efektifitas fase-fase sebelumnya ; evaluasi terhadap pengetahuan, pemahaman konsep, atau kompetensi pebelajar dalam konteks baru yang kadang-kadang mendorong pebelajar melakukan investigasi lebih lanjut. • Refleksi pelaksanaan pembelajaran
• Tes tulis
• Problem solving
Dalam membuat rencana pembelajaran berbasis LC, kegiatan-kegiatan yang dipilih dalam tiap fase harus ditelaah melalui pertanyaan « Konsep apa yang akan diberikan ? » atau « Kompetensi apakah yang harus dikuasai siswa ? » dan « Aktivitas-aktivitas yang bagaimanakah yang harus dikelola dalam tiap fase agar tercapai pemahaman konsep atau terkuasainya kompetensi tersebut ? ». Kegiatan-kegiatan dalam tiap fase harus dirangkai sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Kompetensi yang bersifat psikomotorik dan afektif misalnya akan lebih efektif bila dikuasai siswa melalui kegiatan semacam praktikum.
Lingkungan belajar yang perlu diupayakan agar LC berlangsung konstruktivistik adalah :
1. Tersedianya pengalaman belajar yang berkaitan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa
2. Tersedianya berbagai alternatif pengalaman belajar jika memungkinkan
3. Terjadinya transmisi sosial, yakni interaksi dan kerja sama individu dengan lingkungannya
4. Tersedianya media pembelajaran
5. Kaitkan konsep yang dipelajari dengan fenomena sedemikian rupa sehingga siswa terlibat secara emosional dan sosial yang menjadikan pembelajaran berlangsung menarik dan menyenangkan. (Hudojo, 2001)
Berikut ini akan disajikan contoh penerapan LC dalam pembelajaran kimia di SMA.
Contoh Penerapan Learning Cycle dalam Pembelajaran
Uraian dalam paragrap ini menyajikan penerapan LC 5E dalam pembelajaran zat aditif di SMA (Fajaroh dan Dasna, 2004) yang terdiri atas 3 siklus.
1. Siklus 1
Skenario
TPK: Siswa dapat menjelaskan tujuan pemanfaatan zat pewarna makanan, klasifikasi serta aturan pemakaian zat pewarna makanan
Fase Kegiatan Guru Kegiatan
Memancing siswa dengan pertanyaan-pertanyaan untuk membangkitkan motivasi belajar dan menjajagi pengetahuan dan wawasan siswa tentang:
1. kebiasaan yang biasanya dilakukan orang dalam mengolah makanan dalam kaitannya dengan zat pewarna makanan.
2. tujuan penambahan zat pewarna pada pengolahan makanan tersebut
3. kaitan antara penambahan zat pewarna makanan dengan peningkatan nilai gizi makanan.
4. perlu tidaknya aturan pemakaian zat pewarna makanan
5. bagaimana membedakan pewarna alami dan sintetis
Membimbing siswa melaksanakan Kegiatan I (Klasifikasi Zat Pewarna Makanan) yakni LKS 1 No. 1.1 sampai 1.4.
Membimbing diskusi kelas dan menggiring siswa untuk sampai pada kesimpulan bahwa:
(1) penambahan zat pewarna tersebut semata-mata tidak mempengaruhi nilai gizi makanan tapi agar penampilan makanan tersebut lebih menarik untuk memancing selera dan mungkin untuk meningkatkan rasa makanan,
(2) perlunya aturan pemakaian zat pewarna,
(3) ciri-ciri zat pewarna sintetis, (4) kelebihan dan kerugian pemakaian zat pewarna makanan
Menugaskan siswa menjelaskan cara membedakan pewarna sistetis dan alami secara percobaan (LKS 1 No. 1.5)
Memberikan soal tes:
(1) Sebutkan minimal 2 alasan mengapa orang menggunakan pewarna makanan sebagai zat aditif?
(2) Sebutkan minimal 3 contoh pewarna alami
(3) Apa kelebihan pewarna sintetis dibanding alami?
(4) Apa kekurangan pewarna sintetis disbanding alami? Diskusi kelas
Melaksanakan Kegiatan I
Diskusi Kelompok
Presentasi kelompok dan Diskusi Kelas
Melakukan percobaan 1.5
Diskusi Kelompok
Menyelesaikan soal tes secara individual
LKS 1
Jawab pertanyaan-pertanyaan berikut secara berkelompok pada Lembar Jawaban/Pengamatan yang telah disediakan!
1.1 Tuliskan nama dan warna “jajanan” yang tersedia pada kelompok Anda!
1.2 Menurut Anda dari bahan pewarna pada “jajanan” tersebut? (bahan pewarna sintetis atau alami). Jelaskan Jawaban anda!
1.3 Bagaimana ciri-ciri bahan pewarna sintetis dan alami? Bandingkan warna makanan dari kunir atau daun suji dengan warna saus “tanpa merk”!
1.4 Bagaimana cara Anda membedakan bahan makanan yang mengandung zat pewarna sintetis dengan bahan makanan yangmengandung zat pewarna alami?
1.5 Kerjakan kegiatan berikut ini:
Pilih 4 orang anggota kelompokmu, sebut saja siswa A, B, C, dan D
Siswa A : ambil sedikit saos tomat merk “Indofood” lalu oleskan pada telapak tangan kirimu. Biarkan saos tersebut mengering di tangan kira-kira 15 menit.
Siswa B : Ambillah sedikit saos tomat dalam botol besar merk “X” lalu oleskan pada telapak tangan kirimu. Biarkan saos tersebut mengering di tangan kira-kira 15 menit.
Siswa C : Ambillah sedikit saos tomat “tanpa merk” lalu oleskan pada telapak tangan kirimu. Biarkan saos tersebut mengering di tangan kira-kira 15 menit.
Siswa D : Geruslah sedikit tomat sampai halus, lalu oleskan pada telapak tangan kirimu. Biarkan tomat halus tersebut mengering di tangan kira-kira 15 menit.
Kemudian cucilah tangan Anda dan catat warna yang membekas pada tangan Anda. Tarik kesimpulan percobaan Anda!
2. Siklus II
Skenario
TPK: Siswa dapat menjelaskan dampak pemakaian pewarna berbahaya bagi kesehatan
Fase Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
Memancing keingintahuan siswa tentang efek interaksi dinding usus sapi dengan bermacam-macam pewarna dengan mengingatkan kembali hasil percobaan 1.5 (pengolesan bermacam-macam pewarna makanan pada kulit).Menugaskan siswa melaksanakan praktikum efek interaksi dinding usus sapi dengan rhodamin-B (pewarna tekstil), saos bermerk A dan B (LKS 2).Membimbing diskusi hasil percobaan.Mengajak siswa mendiskusikan fenomena penyalahgunaan zat warna di masyarakat serta dampaknya bagi kesehatan.Memberikan soal tes:
(1) Sebutkan cara-cara membedakan pewarna sintetis dan alami
(2) Apa yang dimaksud dengan penyalahgunaan zat warna?
(3) Apa dampaknya bagi kesehatan? Menjawab pertanyaan guru secara berkelompokMelaksanakan praktikumPresentasi kelompok
Diskusi KelasDiskusi KelasMenyelesaikan soal tesLKS 2
Lakukan Kegiatan Berikut secara Berkelompok dan Catat Hasil Pengamatan Anda pada Lembar yang Tersedia!
1. Siapkan 10 g saos merk Indofood, Cherry, dan tomat halus, masing-masing larutkan dalam 10 mL air
2. Masukkan larutan-larutan saos tersebut masing-masing ke dalam potongan usus sapi yang sudah diikat salah satu ujungnya.
3. Ikat ujung usus lainnya, kemudian gantung pada statif dan diamkan selama 45 menit.
4. Keluarkan saos dari usus, cuci usus sampai bersih, amati kemungkinan ada tidaknya zat warna yang tertinggal pada dinding usus, catat hasil pengamatanmu pada lembar pengamatan!
5. Tarik kesimpulan dari percobaan ini
3. Siklus 3
Skenario
TPK: siswa dapat mengidentifikasi pewarna berbahaya pada makanan
Fase Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
Memancing siswa dengan pertanyaan-pertanyaan untuk menjajagi pengetahuan dan wawasan siswa tentang berbahaya tidaknya penyalahgunaan zat-zat pewarna non-makanan untuk makanan.
Menugaskan siswa melaksanakan praktikum identifikasi kandungan pewarna berbahaya (Rhodamin-B) pada bermacam-macam saos dengan teknik kromatografi kertas dan spot test (LKS 3).
Membimbing diskusi hasil percobaan.
Memberikan pertanyaan kepada kelompok siswa:
(1) Apakah teknik kromatografi kertas dapat digunakan untuk mendeteksi zat pewarna pada makanan selain Rhodamin-B?mengapa?
(2) Apakah teknik spot test dapat digunakan untuk mendeteksi zat pewarna pada makanan selain Rhodamin-B?mengapa?
Memberikan soal:
Sebutkan cara-cara fisik dan kimia yang dapat dilakukan untuk mendeteksi pewarna berbahaya pada makanan!
Diskusi kelas
Praktikum
Presentasi kelompok
Diskusi dan presentasi
Menyelesaikan soal tes
LKS 3
3.1 Identifikasi Rhodamin-B pada Sampel dengan Tes Warna
a. Isi 4 lubang pada pelat tetes masing-masing dengan 1 tetes larutan Rhodamin-B
b. Tambahkan lubang 1 dengan setetes H2SO4
Tambahkan lubang 2 dengan setetes HCl
Tambahkan lubang 3 dengan setetes NaOH
Tambahkan lubang 4 dengan setetesNH4OH
c. Biarkan campuran tersebut kurang lebih 2 menit dan amati perubahan warna yang terjadi
d. Lakukan langkah a s.d. c untuk menguji perubahan warna larutan sampel X dan Y bila ditetesi dengan larutan-larutan H2SO4, HCl, NaOH, dan NH4OH
e. Apakah larutan X dan Y mengandung Rhodamin-B
3.2 Identifikasi Rhodamin-B pada Sampel dengan Kromatografi Kertas
a. Ke dalam beaker glass yang dinding bagian dalamnya telah dilapisi kertas saring, masukkan 25 mL larutan eluen
b. Siapkan kertas kromatografi dan buatlah garis melintang sekitar 1 cm
dari kedua ujungnya.
c. Siapkan titik noda larutan Rhodamin-B, larutan X, dan larutan Y pada
salah satu garis melintang tersebut dengan pipa kapiler. Atur ketiga noda tersebut sedemikian rupa sehingga tidak berimpit.
d. Lakukan proses elusi sampai eluen mencapai tanda batas.
e. Angkat dan keringkan kertas dengan cara diangin-anginkan.Bandingkan Rf noda Rhodamin-B, X, dan Y.
f. Tarik kesimpulan dari percobaan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abraham, M.R., Renner J.W.. 1986.The Sequence of Learning Cycle Activity in High School Chemistry. J. of Research in Science Teaching. Vol 23 (2), pp 121-143.
Arifin, M. 1995. Pengembangan Program Pengajaran Bidang Studi Kimia. Surabaya: Airlangga University Press.
Budiasih, E. , Widarti, H.R. 2004. Penerapan Pendekatan Daur Belajar (Learning Cycle) dalam Pembelajaran Matakuliah Praktikum Kimia Analisis Instrumen. Jurnal Pendidikan dan pembelajaran Vol 10 (1), hal 70-78.
Dasna, I.Wayan.2005. Kajian Implementasi Model Siklus Belajar (Learning Cycle) dalam Pembelajaran Kimia. Makalah Seminar Nasional MIPA dan Pembelajarannya. FMIPA UM – Dirjen Dikti Depdiknas. 5 September 2005.
Fajaroh, F., Dasna, I.W. 2003. Penggunaan Model Pembelajaran Learning Cycle Untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Dan Hasil Belajar Kimia Zat Aditif Dalam Bahan Makanan Pada Siswa Kelas Ii Smu Negeri 1 Tumpang – Malang. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Vol 11 (2) Oktober 2004, hal 112-122.
Hudojo, H. 2001. Pembelajaran Menurut Pandangan Konstruktivisme. Makalah Semlok Konstruktivisme sebagai Rangkaian Kegiatan Piloting JICA. FMIPA UM. 9 Juli 2001.
Iskandar, S.M. 2005. Perkembangan dan Penelitian Daur Belajar. Makalah Semlok Pembelajaran Berbasis Konstruktivis. Jurusan Kimia UM. Juni 2005.
Lorsbach, A. W. 2002. The Learning Cycle as A tool for Planning Science Instruction. Online (http://www.coe.ilstu.edu/scienceed/lorsbach/257lrcy.html, diakses 10 Desember 2002).
Rahayu, S., Prayitno. 2005. Penggunaan Strategi Pembelajaran Learning Cycle-Cooperative Learning 5E (LCC-5E). Makalah Seminar Nasional MIPA dan Pembelajarannya. FMIPA UM – Dirjen Dikti Depdiknas. 5 September 2005.
Renner, J.W., Abraham M.R.,Birnie, H.H. 1988. The Necessity of Each Phase of The Learning Cycle ini Teaching High School Physics. J. of Research in Science Teaching. Vol 25 (1), pp 39-58.
Soebagio dkk. 2000. Penggunaan Siklus belajar dan Peta Konsep untuk Peningkatan Kualitas Pembelajaran Konsep Larutan Asam-Basa. PPGSM.
MODEL – MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF YANG DIREKOMENDASIKAN DI SMP NASIONAL KPS
1. EXAMPLES NON EXAMPLES
Langkah-langkah
a. Guru mempersiapkan gambar-gambar sesuai dengan tujuan pembelajaran
b. Guru menempelkan gambar di papan atau ditayangkan melalui OHP
c. Guru memberi petunjuk dan memberi kesempatan pada siswa untuk memperhatikan/menganalisa gambar
d. Melalui diskusi kelompok 2-3 orang siswa, hasil diskusi dari analisa gambar tersebut dicatat pada kertas
e. Tiap kelompok diberi kesempatan membacakan hasil diskusinya
f. Mulai dari komentar/hasil diskusi siswa, guru mulai menjelaskan materi sesuai tujuan yang ingin dicapai
g. Kesimpulan
2. PICTURE AND PICTURE
Langkah - Langkah
a. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai
b. Menyajikan materi sebagai pengantar
c. Guru menunjukkan/memperlihatkan gambar-gambar kegiatan berkaitan dengan materi
d. Guru menunjuk/memanggil siswa secara bergantian memasang/ mengurutkan gambar-gambar menjadi urutan yang logis
e. Guru menanyakan alasan/dasar pemikiran urutan gambar tersebut
f. Dari alasan/urutan gambar tersebut guru memulai menanamkan konsep/materi sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai
g. Kesimpulan/rangkuman
3. NUMBERED HEAD TOGETHERS
Langkah-langkah :
a. Siswa dibagi dalam kelompok, setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat nomor
b. Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya
c. Kelompok mendiskusikan jawaban yang benar dan memastikan tiap anggota kelompok dapat mengerjakannya/mengetahui jawabannya
d. Guru memanggil salah satu nomor siswa dengan nomor yang dipanggil melaporkan hasil kerjasama mereka
e. Tanggapan dari teman yang lain, kemudian guru menunjuk nomor yang lain
f. Kesimpulan
4. COOPERATIVE SCRIPT
Skrip kooperatif : metode belajar dimana siswa bekerja berpasangan dan bergantian secara lisan mengikhtisarkan, bagian-bagian dari materi yang dipelajari
Langkah-langkah :
a. Guru membagi siswa untuk berpasangan
b. Guru membagikan wacana/materi tiap siswa untuk dibaca dan membuat ringkasan
c. Guru dan siswa menetapkan siapa yang pertama berperan sebagai pembicara dan siapa yang berperan sebagai pendengar
d. Pembicara membacakan ringkasannya selengkap mungkin, dengan memasukkan ide-ide pokok dalam ringkasannya.
e. Sementara pendengar :
f. Menyimak/mengoreksi/menunjukkan ide-ide pokok yang kurang lengkap
g. Membantu mengingat/menghafal ide-ide pokok dengan menghubungkan materi sebelumnya atau dengan materi lainnya
h. Bertukar peran, semula sebagai pembicara ditukar menjadi pendengar dan sebaliknya. Serta lakukan seperti diatas.
i. Kesimpulan Siswa bersama-sama dengan Guru
j. Penutup
5. KEPALA BERNOMOR STRUKTUR
Langkah-langkah :
a. Siswa dibagi dalam kelompok, setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat nomor
b. Penugasan diberikan kepada setiap siswa berdasarkan nomor dan diberikan tugas yang berangkai
Misalnya : siswa nomor satu bertugas mencatat soal. Siswa nomor dua mengerjakan soal dan siswa nomor tiga melaporkan hasil pekerjaan dan seterusnya
a. Jika perlu, guru bisa menyuruh kerja sama antar kelompok. Siswa disuruh keluar dari kelompoknya dan bergabung bersama beberapa siswa bernomor sama dari kelompok lain. Dalam kesempatan ini siswa dengan tugas yang sama bisa saling membantu atau mencocokkan hasil kerja sama mereka
b. Laporkan hasil dan tanggapan dari kelompok yang lain
c. Kesimpulan
6. STUDENT TEAMS ACHIEVMENT DIVISION (STAD)
Langkah-langkah :
a. Membentuk kelompok yang anggotanya = 4 orang secara heterogen (campuran menurut prestasi, jenis kelamin, suku, dll)
b. Guru menyajikan pelajaran
c. Guru memberi tugas kepada kelompok untuk dikerjakan oleh anggota-anggota kelompok. Anggotanya tahu menjelaskan pada anggota lainnya sampai semua anggota dalam kelompok itu mengerti.
d. Guru memberi kuis/pertanyaan kepada seluruh siswa. Pada saat menjawab kuis tidak boleh saling membantu
e. Memberi evaluasi
f. Kesimpulan
7. JIGSAW (MODEL TIM AHLI)
Langkah-langkah :
a. Siswa dikelompokkan ke dalam kelompok 2 - 5 anggota tim
b. Tiap orang dalam tim diberi bagian materi yang berbeda
c. Tiap orang dalam tim diberi bagian materi yang ditugaskan
d. Anggota dari tim yang berbeda yang telah mempelajari bagian/sub bab yang sama bertemu dalam kelompok baru (kelompok ahli) untuk mendiskusikan sub bab mereka
e. Setelah selesai diskusi sebagai tim ahli tiap anggota kembali ke kelompok asal dan bergantian mengajar teman satu tim mereka tentang sub bab yang mereka kuasai dan tiap anggota lainnya mendengarkan dengan sungguh-sungguh
f. Tiap tim ahli mempresentasikan hasil diskusi
g. Guru memberi evaluasi
h. Penutup
8. PROBLEM BASED INTRODUCTION (PBI)
Langkah-langkah :
a. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran. Menjelaskan logistik yang dibutuhkan. Memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih.
b. Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik, tugas, jadwal, dll.)
c. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah, pengumpulan data, hipotesis, pemecahan masalah.
d. Guru membantu siswa dalam merencanakan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan dan membantu mereka berbagi tugas dengan temannya
e. Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan
9. ARTIKULASI
Langkah-langkah :
a. Menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai
b. Guru menyajikan materi sebagaimana biasa
c. Untuk mengetahui daya serap siswa, bentuklah kelompok berpasangan dua orang
d. Suruhlan seorang dari pasangan itu menceritakan materi yang baru diterima dari guru dan pasangannya mendengar sambil membuat catatan-catatan kecil, kemudian berganti peran. Begitu juga kelompok lainnya
e. Suruh siswa secara bergiliran/diacak menyampaikan hasil wawancaranya dengan teman pasangannya. Sampai sebagian siswa sudah menyampaikan hasil wawancaranya
f. Guru mengulangi/menjelaskan kembali materi yang sekiranya belum dipahami siswa
g. Kesimpulan/penutup
10. MIND MAPPING
Sangat baik digunakan untuk pengetahuan awal siswa atau untuk menemukan alternatif jawaban
Langkah-langkah :
a. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai
b. Guru mengemukakan konsep/permasalahan yang akan ditanggapi oleh siswa/sebaiknya permasalahan yang mempunyai alternatif jawaban
c. Membentuk kelompok yang anggotanya 2-3 orang
d. Tiap kelompok menginventarisasi/mencatat alternatif jawaban hasil diskusi
e. Tiap kelompok (atau diacak kelompok tertentu) membaca hasil diskusinya dan guru mencatat di papan dan mengelompokkan sesuai kebutuhan guru
f. Dari data-data di papan siswa diminta membuat kesimpulan atau guru memberi bandingan sesuai konsep yang disediakan guru
11. MAKE – A MATCH
Langkah-langkah :
a. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang cocok untuk sesi review, sebaliknya satu bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu jawaban
b. Setiap siswa mendapat satu buah kartu
c. Tiap siswa memikirkan jawaban/soal dari kartu yang dipegang
d. Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya (soal jawaban)
e. Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi poin
f. Setelah satu babak kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya
g. Demikian seterusnya
h. Kesimpulan/penutup
12. THINK PAIR AND SHARE
Langkah-langkah :
a. Guru menyampaikan inti materi dan kompetensi yang ingin dicapai
b. Siswa diminta untuk berfikir tentang materi/permasalahan yang disampaikan guru
c. Siswa diminta berpasangan dengan teman sebelahnya (kelompok 2 orang) dan mengutarakan hasil pemikiran masing-masing
d. Guru memimpin pleno kecil diskusi, tiap kelompok mengemukakan hasil diskusinya
e. Berawal dari kegiatan tersebutmengarahkan pembicaraan pada pokok permasalahan dan menambah materi yang belum diuangkapkan para siswa
f. Guru memberi kesimpulan
g. Penutup
13. DEBATE
Langkah-langkah :
a. Guru membagi 2 kelompok peserta debat yang satu pro dan yg lainnya kontra
b. Guru memberikan tugas untuk membaca materiyang akan didebatkan oleh kedua kelompok diatas
c. Setelah selesai membaca materi. Guru menunjuk salah satu anggotanya kelompok pro untuk berbicara saat itu ditanggapi atau dibalas oleh kelompok kontra demikian seterusnya sampai sebagian besar siswa bisa mengemukakan pendapatnya.
d. Sementara siswa menyampaikan gagasannya guru menulis inti/ide-ide dari setiap pembicaraan di papan tulis. Sampai sejumlah ide yang diharapkan guru terpenuhi
e. Guru menambahkan konsep/ide yang belum terungkap
f. Dari data-data di papan tersebut, guru mengajak siswa membuat kesimpulan/rangkuman
14. ROLE PLAYING
Langkah-langkah :
a. Guru menyusun/menyiapkan skenario yang akan ditampilkan
b. Menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari skenario dua hari sebelum kbm
c. Guru membentuk kelompok siswa yang anggotanya 5 orang
d. Memberikan penjelasan tentang kompetensi yang ingin dicapai
e. Memanggil para siswa yang sudah ditunjuk untuk melakonkan skenario yang sudah dipersiapkan
f. Masing-masing siswa duduk di kelompoknya, masing-masing sambil memperhatikan mengamati skenario yang sedang diperagakan
g. Setelah selesai dipentaskan, masing-masing siswa diberikan kertas sebagai lembar kerja untuk membahas
h. Masing-masing kelompok menyampaikan hasil kesimpulannya
i. Guru memberikan kesimpulan secara umum
j. Evaluasi
k. Penutup
15. GROUP INVESTIGATION
Langkah-langkah :
a. Guru menyiapkan sebuah tongkat
b. Guru menyampaikan materi pokok yang akan dipelajari, kemudian memberikan kesempatan kepada siswa untuk membaca dan mempelajari materi pada pegangannya/paketnya
c. Setelah selesai membaca buku dan mempelajarinya mempersilahkan siswa untuk menutup bukunya
d. Guru mengambil tongkat dan memberikan kepada siswa, setelah itu guru memberikan pertanyaan dan siswa yang memegang tongkat tersebut harus menjawabnya, demikian seterusnya sampai sebagian besar siswa mendapat bagian untuk menjawab setiap pertanyaan dari guru
e. Guru memberikan kesimpulan
f. Evaluasi
g. Penutup
16. TALK STIK
Langkah-langkah :
a. Guru menyiapkan sebuah tongkat
b. Guru menyampaikan materi pokok yang akan dipelajari, kemudian memberikan kesempatan kepada siswa untuk membaca dan mempelajari materi pada pegangannya/paketnya
c. Setelah selesai membaca buku dan mempelajarinya mempersilahkan siswa untuk menutup bukunya
d. Guru mengambil tongkat dan memberikan kepada siswa, setelah itu guru memberikan pertanyaan dan siswa yang memegang tongkat tersebut harus menjawabnya, demikian seterusnya sampai sebagian besar siswa mendapat bagian untuk menjawab setiap pertanyaan dari guru
e. Guru memberikan kesimpulan
f. Evaluasi
g. Penutup
17. BERTUKAR PASANGAN
Langkah-langkah :
a. Setiap siswa mendapat satu pasangan (guru biasa menunjukkan pasangannya atau siswa menunjukkan pasangannya
b. Guru memberikan tugas dan siswa mengerjakan tugas dengan pasangannya
c. Setelah selesai setiap pasangan bergabungdengan satu pasangan yang lain
d. Kedua pasangan tersebut bertukar pasangan masing-masing pasangan yang baru ini saling menanyakan dan mengukuhkan jawaban mereka
e. Temuan baru yang didapat dari pertukaran pasangan kemudian dibagikan kepada pasangan semula
18. SNOWBALL THROWING
Langkah-langkah :
a. Guru menyampaikan materi yang akan disajikan
b. Guru membentuk kelompok-kelompok dan memanggil masing-masing ketua kelompok untuk memberikan penjelasan tentang materi
c. Masing-masing ketua kelompok kembali ke kelompoknya masing-masing, kemudian menjelaskan materi yang disampaikan oleh guru kepada temannya
d. Kemudian masing-masing siswa diberikan satu lembar kertas kerja, untuk menuliskan satu pertanyaan apa saja yang menyangkut materi yang sudah dijelaskan oleh ketua kelompok
e. Kemudian kertas tersebut dibuat seperti bola dan dilempar dari satu siswa ke siswa yang lain selama ± 15 menit
f. Setelah siswa dapat satu bola/satu pertanyaan diberikan kesempatan kepada siswa untuk menjawab pertanyaan yang tertulis dalam kertas berbentuk bola tersebut secara bergantian
g. Evaluasi
h. Penutup
19. STUDENT FACILITATOR AND EXPAINING
Langkah-langkah :
a. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai
b. Guru mendemonstrasikan/menyajikan materi
c. Memberikan kesempatan siswa/peserta untuk menjelaskan kepada peserta untuk menjelaskan kepada peserta lainnya baik melalui bagan/peta konsep maupun yang lainnya
d. Guru menyimpulkan ide/pendapat dari siswa
e. Guru menerangkan semua materi yang disajikan saat itu
f. Penutup
20. COURSE REVIEW HORAY
Langkah-langkah :
a. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai
b. Guru mendemonstrasikan/menyajikan materi
c. Memberikan kesempatan siswa tanya jawab
d. Untuk menguji pemahaman, siswa disuruh membuat kotak 9/16/25 sesuai dengan kebutuhan dan tiap kotak diisi angka sesuai dengan seler masing-masing siswa
e. Guru membaca soal secara acak dan siswa menulis jawaban di dalam kotak yang nomornya disebutkan guru dan langsung didiskusikan, kalau benar diisi tanda benar () dan salan diisi tanda silang (x)
f. Siswa yang sudah mendapat tanda  vertikal atau horisontal, atau diagonal harus berteriak horay … atau yel-yel lainnya
g. Nilai siswa dihitung dari jawaban benar jumlah horay yang diperoleh
h. Penutup
21. EXPLISIT INTRUCTION (PEMBELAJARAN LANGSUNG) –DI
Pembelajaran langsung khusus dirancang untuk mengembangkan belajar siswa tentang pengetahuan proseduran dan pengetahuan deklaratif yang dapat diajarkan
Langkah-langkah :
a. Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa
b. Mendemonstrasikan pengetahuan dan ketrampilan
c. Membimbing pelatihan
d. Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik
e. Memberikan kesempatan untuk latihan lanjutan
22. INSIDE OUTSIDE CIRCLE (LINGKARAN KECIL-LINGKARAN BESAR)
Langkah-langkah :
a. Membentuk kelompok yang anggotanya 4 orang yang secara heterogen
b. Guru memberikan wacana/kliping sesuai dengan topik pembelajaran
c. Siswa bekerja sama saling membacakan dan menemukan ide pokok dan memberi tanggapan terhadap wacana/kliping dan ditulis pada lembar kertas
d. Mempresentasikan/membacakan hasil kelompok
e. Guru membuat kesimpulan bersama
f. Penutup
23. COOPERATIVE INTEGRATED READING AND COMPOSITION (CIRC)
Langkah-langkah :
a. Membentuk kelompok yang anggotanya 4 orang yang secara heterogen
b. Guru memberikan wacana/kliping sesuai dengan topik pembelajaran
c. Siswa bekerja sama saling membacakan dan menemukan ide pokok dan memberi tanggapan terhadap wacana/kliping dan ditulis pada lembar kertas
d. Mempresentasikan/membacakan hasil kelompok
e. Guru membuat kesimpulan bersama
f. Penutup
MODEL PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK
SEBAGAI ALTERNATIVE MENGATASI MASALAH PEMBELAJARAN
Oleh: Dina Gasong
1. Pengantar
Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang begitu pesat pada era globalisasi, membawa perubahan yang sangat radikal. Perubahan itu telah berdampak pada setiap aspek kehidupan, termasuk pada system pendidikan dan pembelajaran. Dampak dari perubahan yang luar biasa itu terbentuknya suatu ‘kumonitas global’, lebih parah lagi karena komunitas global itu ternyata tiba jauh lebih cepat dari yang diperhitungkan: revulusi informasi telah menghadirkan dunia baru yang benar-benar hyper-reality.
Akibat dari perubahan yang begitu cepatnya, manusia tidak bias lagi hanya bergantung pada seperangkat nilai, keyakinan, dan pola aktivitas social yang konstan. Manusia dipaksa secara berkelanjutan untuk menilai kembali posisi sehubungan dengan factor-faktor tersebut dalam rangka membangu sebuah konstruksi social-personal yang memungkin atau yang tampaknya memungkinkan. Jika masyarakat mampu bertahan dalam menghadapi tantangan perubahan di dalam dunia pengetahuan, teknologi, komunikasi serta konstruksi social budaya ini, maka kita hasrus mengembangkan proses-proses baru untuk menghadapi masalah-masalah baru ini. Kita tidak dapat lagi bergantung pada jawaban-jawaban masa lalu karena jawaban-jawaban tersebut begitu cepatnya tidak berlaku seiring dengan perubahan yang terjadi. Pengetahuan, metode-metode, dan keterampilan-keterampilan menjadi suatu hal yang ketinggalan zaman hamper bersamaan dengan saat hal-hal ini memberikan hasilnya. Degeng (1998) menyatakan bahwa kita telah memasuki era kesemrawutan. Era yang datangnya begitu tiba-tiba dan tak seorang pun mampu menolaknya. Kita harus masuk di dalamnya dan diobok-obok. Era kesemrawutan tidak dapat dijawab dengan paradigma keteraturan, kepastian, dan ketertiban. Era kesemrawutan harus dijawab dengan paradigma kesemrawutan. Era kesemrawutan ini dilandasi oleh teori dan konsep konstruktivistik; suatu teori pembelajaran yang kini banyak dianut di kalangan pendidikan di AS. Unsure terpenting dalam konstruktivistik adalah kebebasan dan keberagaman. Kebebasan yang dimaksud ialah kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan sesuai dengan pa yang mampu dan mau dilakukan oleh si belajar. Keberagaman yang dimaksud adalah si belajar menyadari bahwa individunya berbeda dengan orang/kelompok lain, dan orang/kelompok lain berbeda dengan individunya.
Alternative pendekatan pembelajaran ini bagi Indonesia yang sedang menempatkan reformasi sebagai wacana kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan hanya di bidang pendidikan, melainkan juga di segala bidang. Selama ini, wacana kita adalah behavioristik yang berorientasi pada penyeragaman yang pada akhirnya membentuk manusia Indonesia yang sangat sulit menghargai perbedaan. Perilaku yang berbeda lebih dilihat sebagai kesalahan yang harus dihukum. Perilaku manusia Indonesia selama ini sudah terjangkit virus kesamaan, virus keteraturan, dan lebih jauh virus inilah yang mengendalikan perilaku kita dalam berbangsa dan bernegara.
Longworth (1999) meringkas fenomenan ini dengan menyatakan: ‘Kita perlu mengubah focus kita dan apa yang perlu dipelajari menjadi bagaimana caranya untuk mempelajari. Perubahan yang harus terjadi adalah perubahan dari isi menjadi proses. Belajar bagaimana cara belajar untuk mempelajari sesuatu menjadi suatu hal yang lebih penting daripada fakta-fakta dan konsep-konsep yang dipelajari itu sendiri’.
Oleh karena itu, pendidikan harus mempersiapkan para individu untuk siap hidup dalam sebuah dunia di mana masalah-masalah muncul jauh lebih cepat daripada jawaban dari masalah tersebut, di mana ketidakpastian dan ambiguitas dari perubahan dapat dihadapi secara terbuka, di mana para individu memiliki keterampilan-keterampilan yang diperlukannya untuk secara berkelanjutan menyesuaikan hubungan mereka dengan sebuah dunia yang terus berubah, dan di mana tiap-tiap dan kita menjadi pemberi arti dari keberadaan kita. Beare & Slaughter (1993) menagaskan, ‘Hal ini tidak hanya berarti teknik-teknik baru dalam pendidikan, tetapi juga tujuan baru. Tujuan pendidikan haruslah unutk mengembangkan suatu masyarakat di mana orang-orang dapat hidup secara lebih nyaman dengan adanya perubahan daripada dengan adanya kepastian. Dalam dunia yang akan datang, kemampuan untuk menghadapi hal-hal baru secara tepat lebih penting daripada kemampuan untuk mengetahui dang mengulangi hal-hal lama.
Kebutuhan akan orientasi baru dalam pendidikan ini terasa begitu kuat dan nyata dalam berbagai bidang studi, baik dalam bidang studi eksakta maupun ilmu-ilmu social. Para pendidik, praktisi pendidikan dan kita semua, mau tidak mau harus merespon perubahan yang terjadi dengan mengubah paradigma pendidikan. Untuk menjawab dan mengatasi perubahan yang terjadi secara terus-menerus, alternative yang dapat digunakan adalah paradigmna konstruktivistik.
2. Hakikat Pembelajaran Behavioristik dan Pembelajaran Konstruktivistik
a. Hakikat Pembelajaran Behavioristik
Thornike, salah seorang penganut paham behavioristik, menyatakan bahwa belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang sisebut stimulus (S) dengan respon ® yang diberikan atas stimulus tersebut. Pernyataan Thorndike ini didasarkan pada hasil eksperimennya di laboratorium yang menggunakan beberapa jenis hewan seperti kucing, anjing, monyet, dan ayam. Menurutnya, dari berbeagai situasi yang diberikan seekor hewan akan memberikan sejumlah respon, dan tindakan yang dapat terbentuk bergantung pada kekuatan keneksi atau ikatan-ikatan antara situasi dan respon tertentu. Kemudian ia menyimpulkan bahwa semua tingkah laku manusia baik pikiran maupun tindakan dapat dianalisis dalam bagian-bagian dari dua struktur yang sederhana, yaitu stimulus dan respon. Dengan demikian, menurut pandangan ini dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara stimulus dan respon. Oleh karena itu, menurut Hudojo (1990:14) teori Thondike ini disebut teori asosiasi.
Selanjutnya, Thorndike (dalam Orton, 1991:39-40; Resnick, 1981:13) mengemukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti hokum-hukum berikut: (1) Hukum latihan (law of exercise), yaitu apabila asosiasi antara stimulus dan respon serting terjadi, maka asosiasi itu akan terbentuk semakin kuat. Interpretasi dari hokum ini adalah semakin sering suatu pengetahuan – yang telah terbentuk akibat tejadinya asosiasi antara stimulus dan respon – dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat; (2) Hukum akibat (law of effect), yaitu apabila asosiasi yang terbentuk antara stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasan maka asosiasi akan semakin meningkat. Hal ini berarti (idealnya), jika suatu respon yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu stimulus adalah benar dan ia mengetahuinya, maka kepuasan akan tercapai dan asosiasi akan diperkuat.
Penganut paham psikologi behavior yang lain yaitu Skinner, berpendapat hamper senada dengan hokum akibat dari Thorndike. Ia mengemukakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus – respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu penguatan positif dan penguatan negative. Penguatan positif sebagai stimulus, apabila representasinya mengiringi suatu tingkah laku yang cenderung dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu. Sedangkan penguatan negative adalah stimulus yang dihilangkan/dihapuskan karena cenderung menguatkan tingkah laku (Bell, 1981:151).
b. Hakikat pembelajaran Konstruktivisme
Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik memandang subyek aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi.
Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, si belajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa.
Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pebelajar.
Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivistik, yaitu: (1) mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang relevan, (2) mengutamakan proses, (3) menanamkan pembelajran dalam konteks pengalaman social, (4) pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman (Pranata, http://puslit.petra.ac.id/journals/interior/.).
Hakikat pembelajaran konstruktivistik oleh Brooks & Brooks dalam Degeng mengatakan bahwa pengetahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar berarti menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergentung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.
3. Aspek-aspek Pembelajaran Konstruktivistik
Fornot mengemukakan aaspek-aspek konstruktivitik sebagai berikut: adaptasi (adaptation), konsep pada lingkungan (the concept of envieronmet), dan pembentukan makna (the construction of meaning). Dari ketiga aspek tersebut oleh J. Piaget bermakna yaitu adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru perngertian orang itu berkembang.
Akomodasi, dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bias jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan (disequilibrium). Akibat ketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan struktur kognitif yang ada yang akan mengalami atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya.
Tingkatan pengetahuan atau pengetahuan berjenjang ini oleh Vygotskian disebutnya sebagai scaffolding. Scaffolding, berarti membrikan kepada seorang individu sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan pembelajar dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu (1) siswa mencapai keberhasilan dengan baik, (2) siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3) siswa gagal meraih keberhasilan. Scaffolding, berarti upaya pembelajar untuk membimbing siswa dalam upayanya mencapai keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke jenjang yang lebih tinggi menjadi optimum.
Konstruktivisme Vygotskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan memalui adaptasi intelektual dalam konteks social budaya. Proses penyesuaian itu equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan secara intra individual yakni melalui proses regulasi diri internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual.
Dua prinsip penting yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah: (1), mengenai fungsi dan pentingnya bahasa dalam komunikasi social yang dimulai proses pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan pengetahuan, (2) zona of proximal development. Pembelajar sebagai mediator memiliki peran mendorong dan menjembatani siswa dalam upayanya membangun pengetahuan, pengertian dan kompetensi.
Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakikat pembelajaran sosiakultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan social pembelajaran. Menurut teori Vygotsky, funsi kognitif manusia berasal dari interaksi social masing-masing individu dalam konteks budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development mereka. Zona of proximal development adalah daerah antar tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan memecahkan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu. Pengetahuan berjenjang tersebut seperti pada sekema berikut. 1.Effective habits of mind,2. Cooperative colaborative
,3. Effective communication,4. Information processing,5. Complex thinking.
Pengetahuan dan pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara social dalam dialog dan aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman. Pembentukan makna adalah dialog antar pribadi.dalam hal ini pebelajar tidak hanya memerlukan akses pengalaman fisik tetapi juga interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu lain. Pembelajaran yang sifatnya kooperatif (cooperative learning) ini muncul ketika siswa bekerja sama untuk mencapai tujuan belajar yang diinginka oleh siswa. Pengelolaan kelas menurut cooperative learning bertujuan membantu siswa untuk mengembangkan niat dan kiat bekerja sama dan berinteraksi dengna siswa yang lain. Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kelas yaitu: pengelompokan, semangar kooperatif dan penataan kelas. (Pranata, http://puslit.petra.ac.id/journals/interior/.
4. Rancangan Pembelajaran Konstruktivistik
Berdasarkan teori J. Peaget dan Vygotsky yang telah dikemukakan di atas maka pembelajaran dapat dirancang/didesain model pembelajaran konstruktivis di kelas sebagai berikut:
Pertama, identifikasi prior knowledge dan miskonsepsi. Identifikasi awal terhadap gagasan intuitif yang mereka miliki terhadap lingkungannya dijaring untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan akan munculnya miskonsepsi yang menghinggapi struktur kognitif siswa. Identifikasi ini dilakukan dengan tes awal, interview
Kedua, penyusunan program pembelajaran. Program pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan pelajaran.
Ketiga orientasi dan elicitasi, situasi pembelajaran yang kondusif dan mengasyikkan sangatlah perlu diciptakan pada awal-awal pembelajaran untuk membangkitkan minat mereka terhadap topic yang akan dibahas. Siswa dituntun agar mereka mau mengemukakan gagasan intuitifnya sebanyak mungkin tentang gejala-gejala fisika yang mereka amati dalam lingkungan hidupnya sehari-hari. Oengungkapan gagasan tersebut dapat memalui diskusi, menulis, ilustrasi gambar dan sebagainya. Gagasan-gagasan tersebut kemudian dipertimbangkan bersama. Suasana pembelajaran dibuat santai dan tidak menakutkan agar siswa tidak khawatir dicemooh dan ditertawakan bila gagasan-gagasannya salah. Guru harus menahan diri untuk tidak menghakiminya. Kebenaran akan gagasan siswa akan terjawab dan terungkap dengan sendirinya melalui penalarannya dalam tahap konflik kognitif.
Keempat, refleksi. Dalam tahap ini, berbagai macam gagasan-gagasan yang bersifat miskonsepsi yang muncul pada tahap orientasi dan elicitasi direflesikan dengan miskonsepsi yang telah dijaring pada tahap awal. Miskonsepsi ini diklasifikasi berdasarkan tingkat kesalahan dan kekonsistenannya untuk memudahkan merestrukturisasikannya.
Kelima, resrtukturisasi ide, (a) tantangan, siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan tentang gejala-gejala yang kemudian dapat diperagakan atau diselidiki dalam praktikum. Mereka diminta untuk meramalkan hasil percobaan dan memberikan alas an untuk mendukung ramalannya itu. (b) konflik kognitif dan diskusi kelas. Siswa akan daapt melihat sendiri apakah ramalan mereka benar atau salah. Mereka didorong untuk menguji keyakinan dengan melakukan percobaan. Bila ramalan mereka meleset, mereka akan mengalami konflik kognitif dan mulai tidak puas dengan gagasan mereka. Kemudian mereka didorong untuk memikirkan penjelasan paling sederhana yang dapat menerangkan sebanyak mungkin gejala yang telah mereka lihat. Usaha untuk mencari penjelasan ini dilakukan dengan proses konfrontasi melalui diskusi dengan teman atau guru yang pada kapasistasnya sebagai fasilitator dan mediator. (c) membangun ulang kerangka konseptual. Siswa dituntun untuk menemukan sendiri bahwa konsep-konsep yang baru itu memiliki konsistensi internal. Menunjukkan bahwa konsep ilmiah yang baru itu memiliki keunggulan dari gagasan yang lama.
Keenam, aplikasi. Menyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih konsepsi dari miskonsepsi menuju konsepsi ilmiah. Menganjurkan mereka untuk menerapkan konsep ilmiahnya tersebut dalam berbagai macam situasi untuk memecahkan masalah yang instruktif dan kemudia menguji penyelesaian secara empiris. Mereka akan mampu membandingkan secara eksplisit miskonsepsi mereka dengan penjelasa secara keilmuan.
Ketujuh, review dilakukan untuk meninjau keberhasilan strategi pembelajaran yang telah berlangsung dalam upaya mereduksi miskonsepsi yang muncul pada awal pembelajaran. Revisi terhadap strategi pembelajaran dilakukan bila miskonsepsi yang muncul kembali bersifat sangar resisten. Hal ini penting dilakukan agar miskonsepsi yang resisten tersebut tidak selamanya menghinggapi struktur kognitif, yang pada akhirnya akan bermuara pada kesulitan belajar dan rendahnya prestasi siswa bersangkutan.
5. Penutup
Berdasarkan uraian di atas maka untuk mengatasi beraneka ragam persoalan dalam pembelajaran yang semakin rumit, maka pembelajaran behavioristik yang selama ini telah digunakan selama bertahun-tahun, tampaknya tidak mampu lagi menjawab semua persoalan pembelajaran, maka perlu mencari alternatif pembelajaran yang lebih mampu mengatasi semua persoalan pembelajaran yang ada, salah satunya adalah pendekatan konstruktivistik yang telah diuraikan. Pendekatan ini menghargai perbedaan, menghargai keunikan invidu, menghargai keberagaman dalam menerima dan memaknai pengetahuan.
Alkitab seringkali menyebutkan berbagai cara Tuhan Yesus mengajar, ada khotbah di bukit, berdialog dengan para ahli taurat di dalam bait Allah pada usia 12 tahun, berjalan bersama dua orang murid ke Emaus, pada peristiwa perempuan yang melacurkan diri dan banyak lagi, semua itu merupakan pembelajaran yang merupakan perwujudan dari pembelajaran konstruktivistik. Pembelajaran yang membuat pebelajarnya membangun maknanya sendiri, bukan mentranfer makna/pengetahuan.(Dina Gasong, Mahasiswa Teknologi Pendidikan, PPs UNJ)
Peningkatan Kemampuan Divergent Thinking dengan Menerapkan Pendekatan Modified Free Inquiry dalam Pembelajaran Sains kepada Siswa Kelas XC SMA PIRI 1 Yogyakarta Tahun Ajaran 2006/2007
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk mengungkapkan: (1) peningkatan kemampuan divergent thinking dalam pembelajaran sains dengan menerapkan pendekatan modified free inquiry pada materi pokok Ekosistem; (2) strategi perbaikan yang dilakukan untuk mengefektifkan penerapan pendekatan modified free inquiry sebagai upaya peningkatan kemampuan divergent thinking dalam pembelajaran sains; (3) keterlaksanaan pendekatan modified free inquiry dalam pembelajaran sains; (4) respons siswa terhadap pembelajaran sains dengan pendekatan modified free inquiry.
Subjek penelitian adalah siswa kelas XC SMA PIRI 1 Yogyakarta. Tahap-tahap penelitian meliputi perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi dalam dua siklus. Tindakan yang dilakukan berupa penerapan pendekatan modified free inquiry dalam pembelajaran sains, dengan tahapan presenting task, designing, investigating, dan constructing meaning. Pada siklus I pendekatan modified free inquiry diterapkan dengan metode pengamatan, sedangkan pada siklus II pendekatan tersebut diterapkan melalui metode percobaan dengan pemberian bimbingan guru yang intensif. Data dikumpulkan melalui wawancara, observasi, tes, skala sikap, dan dokumentasi. Wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi tentang siswa, guru, dan fasilitas pembelajaran; observasi dilakukan untuk memberikan gambaran proses pembelajaran yang terjadi; tes dilakukan untuk mengukur kemampuan divergent thinking siswa; dan dokumentasi untuk mengecek keakuratan proses tindakan. Untuk menghindarkan subjektivitas dari observer, maka peneliti melakukan trianggulasi.
Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan kemampuan divergent thinking siswa dari siklus I ke siklus II ditinjau dari perolehan rerata nilai posttest yang lebih tinggi daripada pretest, dan hasil tersebut didukung dengan hasil uji t berpasangan yang menunjukkan perbedaan signifikan dengan nilai p0,05. Strategi perbaikan yang dilakukan agar penerapan pendekatan modified free inquiry lebih efektif dalam pembelajaran adalah dengan strategi guru memberikan motivasi dan bimbingan yang lebih intensif saat siswa melakukan percobaan. Selanjutnya, keterlaksanaan penerapan pendekatan modified free inquiry dalam pembelajaran menunjukkan bahwa pelaksanaan skenario pada siklus II sangat baik, sedangkan pada siklus I baik. Sebagian besar siswa merespon positif terhadap penerapan pendekatan modified free inquiry dalam pembelajaran sains dengan persentase sebesar  75% untuk semua item pernyataan respon positif. (***)

Selengkapnya...

Jumat, 09 Juli 2010

Tas Kresek Berwarna Pengancam Nyawa

SIAPA sih yang tidak mengenal tas kresek? Siapa sih yang pernah terbebas tidak memanfaatkan kantong plastik bernama tas kresek karena bunyinya yang memang kresek, kresek itu? Sayangnya, saking praktisnya dan mudahnya menemukan tas kresek, kita semua tidak tersadar dari bahaya yang mengancam jiwa akibat pemakaian tas kresek ini. Duh…


 Ragam plastik daur ulang temuan BPplastik-plastik-bpom-foto-by-antaraOM RI (foto by Antara)

Tulisan ini sebagian saya kutip dari Harian Kompas dan sebagiannya lagi dari situs detik.com yang membuat saya kembali tercengang dengan bahaya tas kresek. Sungguh mengenaskan karena di balik kepraktisan tas kresek, sejumlah bahaya ikut menjadi bonusnya. Padahal selama ini tas tas kresek tersebut acap digunakan untuk membungkus makanan. Entah panas, entah dingin.

Betapa tidak, hasil pengujian yang dilakukan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) RI, bahwa tas kresek berwarna hitam merupakan salah satu plastik yang harus diwaspadai. Karena plastik ini merupakan hasil proses daur ulang yang tidak diketahui apakah sebelumnya plastik ini merupakan bekas pestisida, limbah rumah sakit, atau mungkin yang lainnya.

Coba ingat-ingat, pernah Anda membungkus kudapan gorengan yang masih panas langsung ke dalam tas kresek berwarna hitam ini? Hawa panas akan meluruhkan sekian persen zat aditif yang sebelumnya ada pada plastik daur ulang ini pada makanan yang memang rasa dan penampilan sangat menggoda ini.

Selain tas kresek, jenis wadah plastik lainnya yang patut diwasapdai adalah plastik kemasan makanan berbahan dasar Polivinil Klorida (PVC). Biasanya plastik seperti ini ditemui pada wadah kue tart yang berwarna bening dengan alas berwarna cokelat. Tapi kandungan PVC di dalamnya tidaklah terlalu besar, meski begitu harus tetap diwaspadai.

Mengapa PVC berbahaya? PVC terbuat dari monomer vinil klorida yang dapat terlepas dan bercampur ke dalam makanan yang berlemak, mengandung alkohol, berminyak dan terlebih lagi dalam keadan panas. Dalam pembuatan plastik polivinil klorida (PVC) biasanya dicampurkan senyawa penstabil berupa Pb (timbal), cadmium (Cd), timah putih (Sn) dan masih banyak zat lainnya.

Efek samping yang ditimbulkan oleh zat-zat tadi di antaranya, mengakibatkan kanker hati jika digunakan dalam waktu yang lama, timbal merupakan racun bagi ginjal dan syaraf, kadmium juga bisa merusak hati dan menyebabkan kanker paru-paru.

Kerusakan yang diakibatkan dari plastik-plastik ini memang tak terjadi secara langsung, tapi jika digunakan terus-menerus dalam jangka waktu yang cukup lama akan menimbulkan kerusakan pada organ tubuh. Plastik yang digunakan sebagai wadah makanan sebaiknya pilihlah yang bening, jangan memilih yang berwarna hitam.

Jangan menaruh makanan yang berminyak, berlemak, apalagi panas ke dalam plastik agar tidak terjadi peluruhan zat aditif ke dalam makanan. Gunakan wadah plastik yang memiliki jaminan bahannya food grade atau aman untuk makanan.

Khusus para bunda yang sering membuat bekal untuk si kecil, perhatikan selalu wadah bekal si kecil dan juga tempat minumnya. Pastikan setiap wadah yang digunakan sudah bertanda aman untuk makanan. Sudah saatnya kita mulai peduli, setidaknya pada kesehatan diri sendiri. (Molucanano:2010) Selengkapnya...

KESEHATAN

Pedagang Tak Peduli
Soal Bahaya Tas Kresek

Jumat, 9 Juli 2010

Peringatan publik Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) terkait dengan bahaya plastik kresek, khususnya berwarna hitam agaknya belum diindahkan masyarakat. Hal itu terlihat masih banyaknya pedagang, terutama pedagang gorengan di pinggir jalan yang menjadikan plastik kresek hitam sebagai wadah gorengannya yang panas mengepul.tas kresek hitam

Tarno, pedagang gorengan yang biasa mangkal di seputar pasar Ciputat, Tangerang mengaku tidak tahu bahaya plastik kresek hitam yang digunakannya untuk wadah gorengannya. Ia menggunakan plastik kresek karena harganya yang murah.
"Kalau pakai kertas bekas harganya mahal. Nanti untungnya makin berkurang," kata pria tengah baya yang mengaku baru sekali mendengar tentang bahaya plastik kresek hitam selama 8 tahun berjualan gorengan.
Hasil penelitian I Made Arcana, dosen kimia Institut Teknologi Bandung (ITB) bisa menjadi satu alasan kita menolak kantung plastik kresek sebagai wadah makan. Arcana menjelaskan, zat pewarna hitam yang digunakan untuk pewarna kantung plastik kresek itu jika terkena panas dapat terdegrasi dan mengeluarkan zat yang menjadi salah satu pemicu kanker. "Tidak dianjurkan menaruh makanan panas langsung dalam kantung plastik kresek, tetapi alasi dulu dengan daun atau kertas yang aman buat kesehatan, bukan kertas koran," ujarnya.
Namun, penting pula diketahui masyarakat bahwa plastik daur ulang itu tidak hanya dijadikan sebagai kantung plastik, tetapi juga produk lain yang selama ini tidak disadari masyarakat seperti sedotan, piring plastik kecil yang biasanya dipergunakan untuk wadah buah-buahan atau cake pada peringatan ulang tahun, dan gelas plastik berwarna.
Lantas, apa solusinya mengatasi persoalan kantong plastik? Yang pasti, lanjut Arcana, jangan pernah mencoba membakarnya. Jika proses pembakarannya tidak sempurna, plastik akan mengurai di udara sebagai dioksin. Senyawa ini sangat berbahaya bila terhirup manusia.
"Dampaknya antara lain memicu penyakit kanker, hepatitis, pembengkakan hati, gangguan sistem saraf, dan memicu depresi," ujarnya.
Selain kantung plastik kresek, pembungkus makanan lain juga patut mendapat perhatian karena bisa saja mengandung zat berbahaya bagi kesehatan. Selama ini masyarakat menerima dengan lumrah makanan yang dibungkus oleh kertas biasa, kertas koran atau kertas bekas majalah.
Terkadang kertas pembungkus yang kontak langsung dengan makanan itu tidak didesain khusus untuk wadah makanan, sehingga mengandung zat berbahaya seperti timbal, karbon, dan lainnya. Timbal dapat mudah berpindah ke makanan jika terkena minyak dan panas yang mampu menyebabkan kelumpuhan.
Jadi bagi anda yang suka membeli gorengan, sayur-sayuran, kue, roti, dan lain-lain yang dibungkus dengan kertas bekas atau kertas bukan untuk makanan seperti kertas koran, kertas majalah, kertas print-an, gunakanlah piring atas wadah lainnya yang didesain khusus untuk makanan.

Harus Dikurangi

Penggunaan styrofoam sebagai wadah makanan, meski terbilang aman untuk kesehatan sebagaimana dilansir BPOM, tetapi harus dikurangi. Karena stryofoam tidak ramah lingkungan. Bahan styrofoam bersifat tahan lama dan tidak dapat terurai secara alamiah dalam waktu puluhan atau mungkin bahkan ratusan tahun.
Sementara jika styrofoam dibakar, maka racun yang menguap ke udara jika terhirup akan menetap di dalam tubuh serta dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius.
Sebaiknya mulai dari diri sendiri tidak menggunakan dan tidak membeli makanan mimuman yang memakai styrofoam sebagai kemasan agar tidak terkena dampak yang merugikan diri kita sendiri, orang lain dan lingkungan sekitar kita. Lebih baik membawa tupper ware, piring atau rantang sendiri untuk membawa makananbomwaktu kesukaan kita.
Kemasan lain yang patut diwaspadai adalah plastik air minum dalam kemasan yang mengandung bahan polyethylene terephthalate atau PET yang bersifat zat karsinogen jika dipergunakan berulang-ulang. Kemasan PET tersebut hanya aman digunakan beberapa kali saja, dengan suhu normal, tanpa dicuci-cuci, tidak kena sinar matahari.
Oleh sebab itu sebaiknya kita tidak memakai ulang botol dan gelas air minum kemasan dan hanya menggunakan kemasan minuman khusus untuk minuman yang aman dari zat-zat berbahaya.
Produk kemasan yang luput dari masyarakat adalah piring, mangkok, gelas dan barang berbahan melamin. Bahan melamin untuk pembuatan barang rumah tangga seperti piring, gelas, mangkuk, mug, cetok, sendok, garpu, dan sebagainya ternyata tidak semuanya aman bagi kesehatan kita dan dapat memicu kanker.
Selain harga yang murah, bentuknya yang beraneka ragam, ringan dan tahan banting menjadi primadona dalam perkakas rumah tangga di masyarakat. (molucanano:2010)
Selengkapnya...